Wednesday, August 8, 2007

Suster Penyembuh Kanker : Suster Antonia Batseran TMM



Suster Antonia Batseran TMM (Suster Penyembuh Kanker)

Gerimis jatuh menetes di Jl. Kemuning IV, kompleks perumahan Pondok Permai, Kutabumi, Tangerang. Dari jauh terlihat berdiri tegak sebuah bangunan bertingkat tiga di tengah-tengah perumahan rakyat. Biara para suster tarekat Maria Mediatrx pada pagi itu terlihat sepi. Para suster tengah bekerja dalam ketenangan. Di biara yang baru beberapa bulan lalu diberkati itu, Suster Antonia Batseran menghabiskan hari harinya dengan kesibukan sebagai seorang guru Taman Kanak-kanak. Sebelum masuk biara TMM, ia telah bekerja sebagai guru di kota Saumlaki, Tanimbar. Panggilan membiara memang tidak datang terlambat pada dirinya. Sudah lama dilubuk hatinya yang terdalam terpatri keinginan untuk mempersembahkan diri seutuhnya kepada Tuhan.
Sudah 14 tahun ia tinggal dan berkarya di Tangerang. Namun ada yang unik dan menarik dari sosok biarawati yang satu ini. Saat ini ia lebih dikenal sebagai suster penyembuh penyakit kanker ketimbang sebagai seorang guru TK. Kemampuan yang dimilikinya itu tidak datang sebagai warisan keluarganya, tapi justru baru diperolehnya setelah ia sendiri menderita kanker payudara selama delapan tahun. Ia diundang kemana-mana untuk menyembuhkan mereka yang sakit. Tak pernah ia mengeluh lelah walau jam terbangnya cukup tinggi, pergi ke Papua, Maluku, Kalimantan, Surabaya, Bandung, Semarang dan sebagainya. Hingga kini sudah banyak orang yang ia sembuhkan dengan obat ramuannya dan kekuatan sinar yang dimilikinya.

Yang Sakit Yang Menyembuhkan
Bermula ketika ia sebagai suster muda yang ditugaskan di Dobo, kepulauan Aru. Kala semangatnya kian membara melayani sesama, tiba-tiba pada tahun 1983 ketahuan ia menginap kanker payudara. Proses pengobatan pun dimulai, walau tak bisa mengharapkan sebuah pelayanan medis yang memadai di daerah terpencil penghasil utama mutiara itu. Yang pasti, dari hari ke hari rasa sakit makin ia rasakan. Mulailah hidupnya ditandai dengan rasa sakit. Sebagai suster muda, ia kecewa dengan penyakit yang menyerang fisiknya itu. Dokter sudah ia datangi, tapi tak ada tanda-tanda kesembuhan. Demikian pula ia meminta pengobatan tradisional dari masyarakat setempat, toh semuanya tak memberi sinyal keberhasilan. Apa yang bisa diharapkan dari pelayanan medis di Dobo?
Melihat kondisinya yang kian parah, pimpinan tarekat memberangkatkannya ke Ambon dengan harapan akan ada pelayanan yang lebih baik. Di saat-saat seperti itu, ia tak bisa lagi berharap banyak untuk sembuh total. Hari-hari penderitaannya itu diisi senandung doa tiada henti: sebuah kepasrahan total kepada Tuhan. “Apa yang mau terjadi, terjadilah”, gumam biarawati asal Tanimbar itu. Penderitaan itu membawanya makin dekat dengan Tuhan. Suster Antonia sadar, mungkin ini jalan Tuhan melibatkan dirinya untuk mengalami derita Kristus.
Walau dalam kondisi sakit, Suster Anton harus berangkat mengikuti retret persiapan kaul kekal di Salatiga bersama beberapa suster TMM lainnya. Pada saat itulah ia tak tahan lagi dengan sakitnya. Ia dibawa ke Rumah Sakit Elisabeth, Semarang. Di hatinya ia tetap berharap sebuah kesembuhan. Tapi sungguh malang kabar yang diterimanya. Dokter yang menanganinya melihat bahwa kankernya itu sudah ada pada stadiun yang tak bisa ditolong lagi secara medis. Suster Antonia sendiri mau supaya ia dioperasi saja, tidak dikemoterapi lagi. Mereka berdebat. Suster bilang dioperasi saja, dokter bilang harus dikemoterapi. "Kalau kamu tak mau dikemo, ya pulang saja dan mati di Ambon sana", bertutur Suster Anton mengenang kata-kata getir yang keluar dari mulut dokter ditujukan kepadanya. Mendengar “vonis mati” itu suster Antonia bukan tambah sedih, tapi ia marah. Ia bangkit dan menghadap dokter tersebut. Dengan tangan menunjuk ke arah dokter, Suster Antonia berkata, “Awas kamu, kalau saya ke Ambon dan ternyata saya bisa sembuh, maka saya akan balik mencungkil matamu”. Ia tidak sekadar marah, tapi ia memberontak terhadap “vonis manusia”. Bukankah Tuhan yang lebih berkuasa, gumamnya dalam hati.
Di Ambon ia masih yakin bahwa Tuhan akan menyelamatkan dirinya dari sakit berkepanjangan itu. Rasa sakit kian menjadi-jadi. Lalu dokter Wayan mengoperasinya. Inilah operasi yang ke-8. Setelah operasi itu, Suster Antonia lebih banyak meminum ramuan yang dibuat oleh seorang saudaranya. Akle Ivakdalam, seorang guru di Saumlaki. Akle mengetahui ramuan itu berdasarkan mimpi. Dalam mimpi itu ia diminta seseorang untuk segera mengambil tanaman benalu yang menempel di pohon jeruk Bali dan pohon Kapuk. Daun benalu itu kemudian direbus dan diminum. Mimpi seperti itu diceritakan ke telinga biarawati yang sudah lama terbaring di tempat tidur itu. Sungguh sebuah keajaiban terjadi. Setelah meminum ramuan itu beberapa kali, Suster Antonia jadi sembuh, bahkan sembuh total.

Melayani siapa saja
Pengalaman berahmat itu tidak ia pendam dalam hatinya saja. Ia ingin orang lain yang menderita kanker payudara seperti dirinya juga sembuh. Sejak itu suster Antonia mulai menyibukkan dirinya dengan membuat ramuan. Orang satu demi satu ia sembuhkan. Ketika ia mulai mengobati orang sakit, pada saat-saat itu juga ia mulai merasakan sesuatu terjadi pada dirinya. Ia mendapat karunia khusus lain, yakni kemampuan menyembuhkan orang dengan sejenis tenaga prana. Setiap pasien ia pijat terlebih dahulu, kemudian ia meletakkan tangannya di atas tubuh pasien itu, memprananya sambil didoakan. pasien itu pun sembuh. "Saya tidak kursus prana, tapi tiba-tiba saya bisa sembuhkan orang ditempat", ucapnya menjelaskan.
Kapan ia mulai yakin dengan kemampuan itu? “Pertama kali saya menyembuhkan seorang suster Klaris, Sr. Margareta. Ia pingsan dan tak sadarkan diri selama tiga hari. “Sebenarnya saya juga heran saya bisa menyembuhkan dia. Tapi apa pun yang saya lakukan, doa pegang perang penting. Karena, bukan saya yang menyembuhkan, tetapi Tuhan sendiri selamatkan pasien itu” tutur biarawati yang senang dengan anak-anak kecil itu. “Saya hanya seorang mediatrix, pengantara. Saya membawa orang lain kepada Tuhan. Itulah tugas perutusan saya sebagai seorang biarawati TMM”, paparnya lagi.
Berkat karunia khusus yang dimilikinya itu kini ia diminta mengobati pasien ke pelbagai tempat. Untung saja ia selalu didukung oleh pimpinan tarekat dan teman-temannya sekomunitasnya di Tangerang. Suster Antonia sudah berkeliling kemana-mana. Namun ia tetap menyadari apa yang dilakukannya itu merupakan tugas perutusan agar nama Tuhan semakin dimuliakan. Tapi itu tidak berarti kehadirannya selalu diterima. Kadang ia ditolak karena dikira hendak mengkatolikkan orang lain. Bersama Suster Domitilda TMM ia pernah ditolak mendoakan seorang perempuan yang sudah tua. Menghadapi pengalaman seperti itu Suster Antonia tahu jalan keluarnya. “Kita harus tenang, tetap lembut, sopan dan jujur,” ujarnya seakan memberitahu apa yang menjadi resep berinteraksi dengan orang lain.
Suatu ketika ia diundang ke Pontianak untuk mengobati beberapa orang disana. Tiba-tiba ada pastor yang terkena tabrakan kendaraan. Tubuh pastor itu penuh dengan darah. Mengetahui peristiwa itu beberapa umat mendatangi Suster Antonia dan meminta pertolongannya. Imam itu sudah tak bisa berjalan lagi. Ia terkapar dengan napas terengah-engah. Suster Antonia yang datang langsung menyuruh orang merebus daun papaya dicampur dengan ramuan buatannya. Dengan air yang masih panas itu, ia menyirami sang pastor. Apa yang terjadi kemudian? Pastor itu langsung berdiri dan berjalan. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu terheran-heran.
Pernah pula ia ditelpon seorang bapa keluarga dari Singapura, memintanya mengobati anak gadisnya yang terkena kanker indung telur. Gadis itu sudah berobat ke Negara kecil itu. Dengan mengangkat hati kepada Tuhan, Suster Antonia mengobati anak itu hingga sembuh. Para pasien yang disembuhkannya sering memberitahukan kesembuhan mereka kepada suster lewat telepon. “Mendengar hal itu saya senang sekali. Syukur kepada Tuhan, karena Dialah yang menyembuhkan mereka”, ungkapnya dengan bangga.

Karena kasih
Suster Antonia dengan senang hati melayani mereka yang sakit. Diakui kalau dirinya sering merasa lelah. Tapi di situlah ia menyadari tugas perutusannya. "Saya melayani siapa saja yang sakit karena saya mengasihi mereka", tegas biarawati yang mengalami sakit kanker payudara selama delapan tahun itu. Cintalah yang mendorong ia bekerja. Kasih itu membuat ia merasa senang. Dengan semangat mencinta yang diperlihatkan Bunda Maria, suster Antonia juga ingin orang lain hidup bahagia. Ia sendiri pernah merasakan sakit itu, maka ketika ia melihat seorang pasien yang datang kepadanya, hatinya tergerak untuk menolong. Ia akan kemana saja sejauh ia diminta, ia tak pernah menolak.
Bunda Maria Pengantara selalu melekat erat dihatinya. “Kemana saja saya tidak takut, karena saya yakin Bunda Maria ikut mendampingi dan mendoakan saya”, katanya dengan nada riang. “Bukan saya yang menyembuhkan, tapi Yesus yang memberi kesembuhan itu”.
Suster Antonia memang rajin membuat novena Hati Kudus Yesus dan novena kepada Santo Antonius. Di saat berdoa itulah ia menimba kekuatan rohani guna melanjutkan karya pelayanannya di tengah masyarakat. Dalam perjalanan pulang ke komunitasnya, di atas pesawat, tak henti-hentinya ia berdoa kepada mereka yang meminta doa darinya. Terkadang setelah ia mendoakan pasiennya, kemudian ia ditelpon orang itu dan mengabarkan bahwa dirinya telah sembuh. Mendengar kabar itu, ia tiada henti memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan. “Tuhan itu sungguh baik. Percayalah kepada-Nya”, ajak Suster Antonia Batseran TMM.

(Dikutip dari majalah Hati No. 03, TAHUN VIII, Agustus 2005)